Senin, 01 Oktober 2012

CINTA SUCI ZAHRANA

Bagian Empat

Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo.

Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,

"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."

Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh meminta ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anakanak yang menjadi penyejuk jiwa.

Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,

"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan
memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai
perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semenamena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."

Ia kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapai SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS
kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,

"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata
manusia!"

* * *

Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana nyaris sempurna. Besok acara
pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian main
kejarkejaran.

Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari group
kasidah Nasyida Ria berkumandang,

Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.

Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin
membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana istirahat saja.

Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar fresh dan segar.

Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anakanak kecil tertawa-tertawa bahagia.

Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu
yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria,

Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.

Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi
seperti patung. Linalah yang membangunkannya.

"Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya.

Lina yang ia tanya malah menangis.

"Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!"

"Ada apa dengan Rahmad?"

Lina tidak menjawab malah semakin keras terisakisak. Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab,

"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!"

"Apa!!?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt.

"Rahmad mati tertabrak kereta api!" lanjut Paman Rahmad.

"Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat hati siapa saja yang
mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika. Semua yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana
yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata.

Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain, "Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bisa
tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"

Paman Rahmad menjelaskan,

"Habis shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat pen ting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya. Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru. Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah.

Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah, Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan siapa.

Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberitahu ada mayat tertabrak kereta api,
dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad. Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad."

Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua larut dalam kesedihan yang dalam. Zahrana
masih pingsan.

***

Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.

Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. la masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa
Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus
dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan akad nikah, namun tiba-tiba menciptakan trauma baginya.

Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.

"Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!"

katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.

"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik."

Lina mencoba menguatkan.

"Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"

"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."

"Tak tahu aku harus bagaimana Lin."

"Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan
tenang!"

Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.

"Anakmu bagaimana Lin, kalau kau di sini?" tanya Zahrana.

"Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran."

Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar.

"Bahagianya punya anak. Kau beruntung Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh
kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...."

Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit kamar rumah sakit.

"Sudahlah Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau insya Allah akan
memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."

"Entahlah Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa tidak bergairah hidup lagi."

"Tidak Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana, kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!"

"Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku ini sangat berat!"

"Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu menghadapinya Rana. Aku yakin."

"Aku beruntung punya teman sepertimu Lina. Terima kasih ya Lin...Kau baik sekali!"
Lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang.

"Aku juga sangat beruntung punya teman sepertimu Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran
justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia."

Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa kondisi
Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan denganpenuh perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya
dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan. Senyumnya mengalirkan kesembuhan.

"Jadi, ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa itu?"

Zahrana mengangguk.

"Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?"

"Siapa nama anak Bu Dokter?"

"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa."

"O kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam
buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."

"Ya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak
membantu anak saya."

"Sama-sama, Bu."

Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas.
Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip
dengan Zahrana. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah
dalam usia yang sangat terlambat.

"Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang
dikejarkejar tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Yang paling penting adalah dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan sedih."

Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata,

"Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali."

Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata,

"Ada nasihat sangat bagus sekali dari Anton Chekov."

"Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan.

"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan.
Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ."

"Nasihat yang baik sekali Bu."

"Ya. Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa kaubaca juga karya-karya sastra."

"Terima kasih Bu atas semuanya."

* * *

Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah
kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit. Namun tak tertolong. Nyawanya melayang di
perjalanan.

Hari itu ia meninggal menyusul calon menantunya. Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada
Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh.

Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan
Zahrana.

Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran
terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian.

Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Juga temanteman dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang.

Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana Pak Karman berkata pelan sekali,

"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!"

Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan
keyakinannya bahwa yang menterornya selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman
tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.

Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon suaminya ada hubunganya dengan SMS terakhir Pak
Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror
dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tibatiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh
terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang.

"Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.

( Bersambung Ke Bagian Lima )

0 komentar:

Posting Komentar