Photobucket

1

Photobucket

2

Photobucket

3

Photobucket

4

Photobucket

5

Sabtu, 29 September 2012

CINTA SUCI ZAHRANA

Bagian Tiga :

Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di
STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai.

la belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang
yang maju.

Tapi entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok. Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat status. Satpam atau apapun tak jadi masalah. la tidak
sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran
sama sekali. Shalat juga dengan jujur diakuinya tidak pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi apa
anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran.
Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari nol. Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya
tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang lain.

Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel
sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun.

Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri
yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.
Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat marah.

"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan jodohnya!"

Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta maaf jika belum bisa menjadi anak yang membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis.

Sang ayah berkata sambil terisak, "Saat pindah ke STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan.
Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"

"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan
ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab Zahrana sambil mengusap airmatanya.

Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan.

Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri.
Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah
isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al Fatah.

Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu Nyai yang menemui.

'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.
"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana.
Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturrahmi. Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi.
Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan kepala
menunduk.

"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?"
"Iya, Ummi."
"Dulu nyantri di mana?"
Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong, "Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia
hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."

"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB. Jurusan apa?"

"Teknik Sipil, Ummi."

Bu Nyai hanya manggut-manggut.
Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu
Nyai menjawab, "Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu bagaimana?"

Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia menjawab, "Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja."

"Oo, baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya. Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai.
Semoga ada pandangan."
"Baik Bu Nyai."
Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai menghabiskan minuman yang ada di gelas.

"Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman
akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.

Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau
Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan
begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang mencintainya.
Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.
* * *
Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati,

"Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." 

Ia bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi tanda tanya.

"Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah.

Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga."

Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai
memanggilnya.

Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al - Quran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikanbacaannya.

"Duduklah, Anakku."

Ia duduk dengan kepala menunduk.

"Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri
yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad. Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orang tuamu dan kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik."

"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya. Semoga barakah, Anakku!"
Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:

"...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk
keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah...!"

Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai, "Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia
duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"

"Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang
takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?"
gumamnya sendiri.

Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.

"Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan
pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"

Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam
ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan
permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada yang berani membantah.

Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju. "Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia." Demikian kata ibunya.

Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab,
"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu

dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di
Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran. Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang terbaik."

Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah
Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan
kemantapannya.

Bu Nyai menjawab,
"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"
"Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara B-15."
"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apa apa."

"Baik Bu Nyai." Jawabnya.
Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Jangan jangan ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru yang tidak mau dengan alasan minder dan lain sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu
yang menjawabnya, desahnya.
* * *
Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke mana mana sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu. Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual
kerupuk itu tidak juga datang.

Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang. "Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk itu membahana. Hari Zahrana sedikit lega. Ia menunggu. Suara itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Ia
keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak,
"Kerupuk Pak!"
Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat kerupuk yang dipikulnya ia turunkan. Zahrana
terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam tersengat matahari. la hampir menangis.

"Iya Bu, beli berapa?"
"Tiga ribu Pak."
"Baik Bu."

Penjual kerupuk itu mengambil kerupuk dan memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu.

"Ada yang kecilBu?"
"Aduh tak ada Pak."
"Aduh gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah ibu bawa dulu saja kerupuknya. Kapan-kapan kalau saya lewat ibu bayar."
"E jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah saya untuk Bapak."
"Baik Bu kalau begitu. Matur nuwun ya Bu. Semoga keinginan ibu dikabulkan Allah."
"Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan pantas bagi dirinya.
Begitu penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. la menceritakan
penjual kerupuk yang baru ditemuinya.
"Apakah dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai saya memang pantasnya untuk penjual kerupuk yang tua
itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.
"Tenanglah Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua itu siapa namanya?"
"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."
"Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas, tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu.

Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim Pak Kiai pasti baik. Pokoknya kamu jangan ke
mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat suami saleh harus sabar ya." Lina berusaha
menenangkan dan menguatkan.

"Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar."
Zahrana kembali menunggu. Nyaris satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel,
marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. la yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa
teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu. Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar.

Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim
Pak Kiai adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang sangat arif pun, berpendapat bahwa ia pantasnya dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya dirinya.

Ia masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada penjual
kerupuk yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia bingung Ia lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual kerupuk
lain yang datang. Penjual kerupuk seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya
bercucuran,

"Ya Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku. Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku
menyempurnakan separo agamaku sesuai syariat-Mu. Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu."

Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapasiapa di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya
yang memiliki hajat sunatan di Pucang Gading.

Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring,

"Kerupuk-kerupuk! Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!"

Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah
melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda
dan mengayuh sepedanya dengan cukup kencang. Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan
sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk itu terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak,

"Kerupuk, Mas!"
Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu
membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun hari telah senja. Zahrana terperanjat. Masih muda dan ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar
terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu.

"Iya Bu, beli berapa?"

Ia tersadar.

"E...lima ribu."

Penjual kerupuk itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan kerupuk.
"Ini Bu"
Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh ribu. Penjual kerupuk itu menerima uang itu dan
menghitung uang kembalinya.

"Ini kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah."

Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik berisi
kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan.
"E, Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan.

"Ya Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?"
"Tidak kok Mas. Mau tanya, sudah lama jualan kerupuk ya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini."

"Iya Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah
Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan Penggaron saja,"

"O. Ini cari langganan baru ya?"
"Bisa ya, bisa tidak."
"Kok begitu."
"Biasanya dagangan saya sudah laku di timur, tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya jualan ke sini hanya
karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja.
Besok-besok terserah."

Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib mengalun.
"Boleh tahu, siapa nama Mas?"
"Nama saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya jalan dulu. Sudah Maghrib, saya harus cari masjid."
Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara azan berkumandang. Zahrana memandang punggungnya sampai hilang di kejauhan.

"Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?" tanyanya dalam hari.
Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayahi bunya sudah ada di rumah.
"Dari mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan sembrono kamu!" tegur
ibunya serius.
"Dari mengejar penjual kerupuk Bu. Wong cuma sebentar kok." Jawab Zahrana tenang.
"Penjual kerupuk yang dikirim Bu Nyai itu?" tanya ibunya dengan mata berbinar.
"Iya Bu."
"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?"
"Ah ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!"
"Iya. Iya. Baik."

Zahrana lalu masuk kamarnya untuk siap-siap shalat Maghrib. Sebelum ia mengambil air wudhu hpnya
berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,

"Ass wr wb. Bu ini Hasan. Alhmdulillah tadi sy sdh wisuda. Dan alhmdulillah sy dinobatkan sbg mhsw
terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."

Ia tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu. Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang murid yang berhasil
tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu diwisuda di UGM dan menjadi lulusan terbaik di Fakultasnya.
Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan.

Ia teringat Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia tersenyum
simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau mereka
menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik. Sama sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.

* * *
Setelah Zahrana melakukan kroscek pada Bu Nyai, memang penjual kerupuk yang masih muda itulah yang
dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan
menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok.

Ayah dan ibu Zahrana pun cocok. Barulah setelah itu Pak Kiai dan Bu Nyai mempertemukan dua keluarga.
Mulanya si Rahmad merasa minder. Tapi Pak Kiai berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder. Pada
Rahmad Pak Kiai berkata,

"Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia rendah hati. Yang jadi pertimbangan Zahrana dalam
mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi
pertimbangan Zahrana adalah agama, iman dan akhlak. Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati suaminya. Jadi kamu jangan minder!"

Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga itu, Zahrana mengutarakan keinginannya untuk mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima
dengan penuh semangat oleh dua keluarga. "Semakin cepat semakin baik. Insya Allah semakin cepat juga semakin barakah!" Demikian Pak Kiai berkomentar.

Dan ditetapkanlah hari H pernikahan Rahmad dengan Zahrana dua minggu setelah pertemuan itu. Dua
keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak
Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang.

Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang
semua temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan diberitahu lewat email dan SMS . Ia juga mengundang
mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka datang.

Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang, yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang.
Nina mengirim balasan:
"Trm ksh Bu atas undangannya. Smg prnikhnnya barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang
sama saya jg akan melangsungkn akad nikah di Jkt. Saling mendoakan ya Bu. Nina."

Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S.l. Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan
Hasan. Seperti yang ia idealkan. Ia langsung sadar, ideal di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata
Allah Swt.

Sementara Hasan mengirim balasan,
"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs datang Bu. Sbb hari itu saya harus mengurus beasiswa S.2
USM (Universiti Sains Malaysia). Mohon doanya."

Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas mendapatkan
beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil dan sukses.

Tak ketinggalan ia juga mengundang teman temannya sesama dosen waktu mengajar di kampus Fakultas
Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin.

Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak
ia suka itu.

Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan geram.
"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak bisa memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!"
Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.

( Bersambung Ke Bagian Empat )


Kamis, 27 September 2012

CINTA SUCI ZAHRANA

Bagian Dua :

Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia
masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya,
apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya itu berkata, "Zahrana, kamu memang bebas
menentukan pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu."

"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya benar benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara dari hati ke hati.

"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa
saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana, saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih
baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia
berpijak."

"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget.

"Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta
politik di kampus."

"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan!"

"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau
nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada
kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik
kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang."

Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan.

Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah
Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."

"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu.Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.
* * *

Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh.

Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.

"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran Bu Merlin."
"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana
menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu,
"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa
nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di  Fakultas tempat kamu mengajar."
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang
menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain
sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri.
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk
rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama "Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak
lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen
mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya.
"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah
perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan berkas-berkasnya.

"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?"

"Ya. Final."

"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak
pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para
dosen akan men-support-mu."

"Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah."

"Sama-sama."

Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu
mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi
berjilbab hitam.

"Nina!"

"Ya Bu Rana."

"Bisa bantu saya sebentar?"

"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."

"Baik Bu." Ia lalu balik ke ruang kerjanya.
"Pak Didik?"
"Ya Bu Rana."
"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di
komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus saya minta tolong dicarikan taksi."

"O bisa Bu."

Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka
Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kampus itu.

"Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di Lembaga Pers Kampus.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."
"Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" tanya mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.
"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan.
"Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" tanya mahasiswa itu lagi.
"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah."

"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun ibu tidak di kampus ini lagi?"

"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barang barangnya ke luar gedung.

Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan membawa seluruh barang barangnya.

Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi  pelajaran!"

Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja
kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika meluap,

"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tiba tiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu.

Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satu satunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.

* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan
informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang  profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah.
Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.
Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.

Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting.

Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan
ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan.

Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih
menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan banyak ulama? Atau karena memang di pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangat sangat durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benarbenar
hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga
masih sering didatangi mahasiswanya.

Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah
bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri.
Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al
Fatah yang gajinya jauh lebih kecil.

Ia menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan para santri." Ayahnya hanya mendesah tanda
tidak setuju.

Namun ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan
pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh yang
Zahrana harap tidak juga datang."

Wajah ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong
pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan jodohmu."

"Iya Yah. Mohon doanya terus.""Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang dan malam,  Anakku."
"Terima kasih Ayah."
***
Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.

Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering
beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk.
Iamembukanya:

"Sedang apa perawan tua?"

"Ternyata jadi perawan tua itu indah."

"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan
dan menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan
kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa menduga kira-kira dan mana SMS itu
berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS itu ada. Ia merasa diam adalah
senjata paling ampuh.

Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila. Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu.
Internetnya sudah konek. Lima email dari temantemannya sesama dosen. Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.

Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,

"Apa kabar Perawan Tua?"

"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang
terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya.
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya.
la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu. la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab.
Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.

Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang Ibu cari selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri. Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang, untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa menerimanya nanti.

Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan dia.

Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.

Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata mohon maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberimanfaat. Itu saja. Akhirul kalam,

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Hormat saya,

Didik Hamdani, M.T.

Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan.
Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan
betapa susah menjadi wanita.

Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit
menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu.

la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya
tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya,

"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami
orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu orang saja!"

Ia tidak tahu akan menjawab apa.

Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama
sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada. Matanya masih berkaca-kaca.

( Bersambung Ke Bagian Tiga )

CINTA SUCI ZAHRANA

Allhamdulillah pada tengah malam seperti ini Si Mbah bisa update blog lagi dan pada kesempatan yang lagi kagak bisa tidur.. hehehe Si Mbah akan posting  Novel Cinta Suci Zahrana, tidak usah berbasa basi langsung aja di baca, hehehe.
 
Takbir Cinta Zahrana
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

Bagian Satu :

Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.

Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di
kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita. 

Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya.

Ia terkadang menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah? 

Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.

Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.

Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. 

Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia  untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam. 

Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah sematamataprestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.

Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya. 

Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta? 

Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus.

"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya.
 
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."

"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara
serak.

"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,
bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang
diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."

"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti
bisa saya berikan."

"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa
dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.

Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana. 

Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya. Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina.

Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.

Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?"

Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tiba tiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1
***

Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata
wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga

hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang jadi penerus keturunan.

Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku?
 
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bungabunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan
ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,

"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
 
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya.

Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.

Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini.

Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas.

Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.

Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam embuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yangbiasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara.
 
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu,
 
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari."
 
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar.
 
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan, "...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."

( Bersambung Ke Bagian Dua )

Selasa, 25 September 2012

CHEAT & TIPS BERMAIN DINER DASH 1

Diner Dash Cheats &Tip

Gameplay tips:
  • To pick up the check and clean up the table in one move, double click the table.
  • You can create an action queue for Flo by clicking several things in order.
  • Use the customer types to your advantage. Seniors and Mr. Hot Shot will wait longer in line, so serve the impatient ones first.
  • Keep an eye on the little heart meter on the tables and on the people in line. If customers get upset, they will leave, costing you a lot of points. Speedy service gives those little hearts a boost as well. The higher the heart meter, the better your tip.
  • Drinks and snacks keep people happy. Serve them to those who arrived first, so you can afford to let them wait a bit and get a chain going with more customers.
  • Maximize your chances of a higher score: keep people in line until you can seat all tables at the same time, grab all the orders in a row, then serve all the dishes in a row.
Endless shift hints:
  • Every time an upgrade becomes available, redeem it right away.
  • Get the entertainer first. You can keep people in line happy without having to use the podium, thus leaving you all the extra time to sit and serve the customers.
  • Your next upgrades should be the oven and the running shoes, to speed up service.
  • After that, invest on the stereo to keep the customers at the tables happy.
  • Each costumer that leaves costs you a star.
Expert score hints:
  • Sitting several customers of the same color on the same seat gives you an extra 100 points per customer. If you have a x2 blue seat, place a blue customer on it to get 200 points and to turn it into a x3 once he/she leaves. Color bonuses will never go over x4.
  • Create chains by doing the same action several times in a row. In higher levels, chains are the only way to meet the required goal.
  • Flo can carry two objects at a time (and later on, four), so use that to make service faster and to create chains.
  • Serve as many snacks as you can for extra tips, but sometimes it's best to let the customers get upset just so you can work the podium or serve the meals.
  • Using the podium doesn't break a chain, but serving drinks or snacks and putting dirty dishes away will.
Customer Types:
As you progress in the game you will have several different types of customers that have different levels of patience, so time your seating accordingly to maximize the chain!
  • Businesswomen: they tip very well, but have a short temper to wait in line or at the table.
  • Mr. Hot Shot: very patient in line, very impatient at the table, tips well.
  • Seniors: elderly men who are a lot more patient in line and at the table, take a long time to eat and don't tip so well.
  • Young girls: friendly customers, they give good tips and are moderately patient.
  • College kids: very impatient in line, like to linger at the table, give reasonable tips.
  • The restaurant critics: VIP customers, they can come alone or in groups. They give you a star if they leave pleased, but will cost you points if they don't get a good impression. A star is an "extra life", which you use when you fail to reach the level goal.
Restaurant upgrades:
As you complete each level your restaurant might gain an upgrade. Here is an explanation of their effects.
  • Podium: Flo can use it to make the customers waiting in line happier. Just stand there long enough for the heart to grow to its maximum size.
  • Drink station (tiki, coffee, wine, tea): give your customers a free drink to make them happier. When the drink station is flashing, you can get a drink from it.
  • Snacks station (bread sticks, crab sticks): when customers request an item from it, you better bring it to them fast.
  • Stereo: helps keep people at the tables happy. Available only in Endless Shift.
  • Performer: helps keep people waiting in line happy. Available only in Endless Shift.
  • Oven: helps the cook prepare meals faster. Available only in Endless Shift.
  • Running shoes: they make Flo walk faster. Available only in Endless Shift.
Food Chain Bonus Values
  • Food Chain x1: 30
  • Food Chain x2: 60
  • Food Chain x3: 90
  • Food Chain x4: 120
  • Food Chain x5: 150
  • Food Chain x6: 180
Order Chain Bonus Values
  • Order Chain x1: 20
  • Order Chain x2: 40
  • Order Chain x3: 60
  • Order Chain x4: 80
  • Order Chain x5: 100
  • Order Chain x6: 120
  • Order Chain x7: 140
Snack Bonus Values
  • Crabstick snack: 75
  • Bread snack: 100
  • Samosa snack: 150
  • Pappadom snack: 150

CAREER MODE WALKTHROUGH

Part 1 - The Diner
Tired of her stressful office life, Flo decides to start a new career by opening her own restaurant, a very small diner.
Level 1-1 (Goal: 500)
This is your tutorial level, it will teach you how to sit and serve customers. Two tables for 2. Customers are all of the same color; all are girls.
Level 1-2 (Goal: 1,000 Expert Goal: 3,000)
Four tables for 2. Customers are all of the same color; all are girls. Your reward for completion is new walls.
Level 1-3 (Goal: 1,000 Expert Goal: 3,000)
Four tables for 2. Customers come in red and blue; all are girls.
Level 1-4 (Goal: 3,000 Expert Goal: 7,000)
Two tables for 4 and two tables for 2. Customers come in red and blue; all are girls. Your reward for completion is a coffee machine.
Level 1-5 (Goal: 3,000 Expert Goal: 6,000)
Two tables for 4 and two tables for 2. Customers come in red and blue; all are girls.
Level 1-6 (Goal: 4,000 Expert Goal: 8,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red and blue; all are girls. The restaurant critic will come to visit. Your reward for completion is a new door.
Level 1-7 (Goal: 4,000 Expert Goal: 8,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red and blue; they are girls and seniors.
Level 1-8 (Goal: 6,000 Expert Goal: 10,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red and blue; they are girls and seniors. Your reward for completion is a new counter and some decorations.
Level 1-9 (Goal: 8,000 Expert Goal: 14,000)
Six tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red and blue; they are girls and seniors.
Level 1-10 (Goal: 10,000 Expert Goal: 20,000)
Six tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red and blue; they are girls and seniors.
Part 2 - The Tiki Palace
Now that you've earned enough to build a second restaurant, you can manage this cool tiki-themed place.
Level 2-1 (Goal: 3,500 Expert Goal: 8,000)
Two tables for 2, two tables for 4. Customers come in blue, red and yellow; all are girls. Let the last pair of blue girls wait until your group of 4 is done eating, for a bigger blue color bonus.
Level 2-2 (Goal: 4,000 Expert Goal: 8,000)
Five tables for 4. Customers come in blue, red and yellow, they are girls and seniors. Your reward for completion is a tiki drink station.
Level 2-3 (Goal: 5,000 Expert Goal: 11,000)
Five tables for 4. Customers come in blue, red and yellow; they are girls and seniors. Your reward for completion is a podium.
Level 2-4 (Goal: 5,000 Expert Goal: 10,000)
Five tables for 4. Customers come in blue, red and yellow; they are girls and seniors. You need to keep the people in line happy while seating 4 or 5 groups at a time and chaining their orders and food.
Level 2-5 (Goal: 4,000 Expert Goal: 9,000)
Two tables for 4, one table for 6, one table for 2. Customers come in blue, red and yellow; they are girls and seniors. You need high chain bonuses to meet the goal. Your reward for completion is a new counter.
Level 2-6 (Goal: 6,000 Expert Goal: 12,000)
Two tables for 4, one table for 6, one table for 2. Customers come in blue, red and yellow; they are girls, seniors and businesswomen.
Level 2-7 (Goal: 6,000 Expert Goal: 11,000)
Two tables for 4, one table for 6, two tables for 2. Customers come in blue, red and yellow; they are girls, seniors and businesswomen. The restaurant critic comes to visit. Your reward for completion is a new door.
Level 2-8 (Goal: 6,000 Expert Goal: 10,000)
Two tables for 4, one table for 6, two tables for 2. Customers come in blue, red and yellow; they are all businesswomen. Your reward for completion is new decorations.
Level 2-9 (Goal: 7,500 Expert Goal: 15,000)
Two tables for 4, one table for 6, four tables for 2. Customers come in blue, red and yellow; they are girls, seniors and businesswomen.
Level 2-10 (Goal: 10,000 Expert Goal: 17,000)
Two tables for 4, one table for 6, four tables for 2. Customers come in blue, red and yellow; they are girls, seniors and businesswomen.
Part 3 - Go With the Flo Fine Seafood Dining
Flo's restaurant empire grows with a third addition, serving lobster dinners and crabsticks.
Level 3-1 (Goal: 3,500 Expert Goal: 7,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a podium and a drink station.
Level 3-2 (Goal: 5,000 Expert Goal: 10,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, businesswomen and seniors.
Level 3-3 (Goal: 7,000 Expert Goal: 12,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a new counter.
Level 3-4 (Goal: 8,000 Expert Goal: 11,000)
Four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, businesswomen and seniors. Keep larger groups of seniors waiting in line and serve the others first. Color bonuses are essential to win. Your reward for completion is a crab sticks snack station.
Level 3-5 (Goal: 8,000 Expert Goal: 11,000)
One table for 6, four tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls and seniors. They will randomly ask for crabsticks while choosing from the menu or while eating. Use only half of the tables for higher color bonuses and keep the line happy.
Level 3-6 (Goal: 7,000 Expert Goal: 9,500)
Two tables for 6, two tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, businesswomen and seniors. The restaurant critic comes to visit. Your reward for completion is a new door and walkway.
Level 3-7 (Goal: 8,000 Expert Goal: 11,000)
Two tables for 6, two tables for 2 and two tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls and college kids.
Level 3-8 (Goal: 9,000 Expert Goal: 12,000)
Two tables for 6, three tables for 2 and three tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is new decorations.
Level 3-9 (Goal: 9,000 Expert Goal: 11,000)
Two tables for 6, three tables for 2 and three tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 3-10 (Goal: 9,000 Expert Goal: 12,000)
Two tables for 6, three tables for 2 and three tables for 4. Customers come in red, blue, yellow and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors.
Part 4 - Chez Flo's
The hottest place in town, this restaurant has a bar that allows you to sit several groups together.
Level 4-1 (Goal: 4,000 Expert Goal: 9.000)
Four tables for 2, two tables for 4, one table for 6. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a podium and a wine bar.
Level 4-2 (Goal: 7,000 Expert Goal: 13,000)
Four tables for 2, two tables for 4, one table for 6. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a bread snack station.
Level 4-3 (Goal: 5,000 Expert Goal: 12,000)
Four tables for 2, two tables for 4, one table for 6. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 4-4 (Goal: 5,500 Expert Goal: 12,000)
One table for 4, two tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids and seniors. Your reward for completion is a new counter and decorations.
Level 4-5 (Goal: 6,000 Expert Goal: 10,000)
One table for 4, two tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 4-6 (Goal: 7,000 Expert Goal: 14,000)
Two tables for 4, three tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a new entrance.
Level 4-7 (Goal: 7,000 Expert Goal: 14,000)
Two tables for 4, three tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 4-8 (Goal: 6,000 Expert Goal: 12,000)
One table for 6, Two tables for 4, three tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is new decorations.
Level 4-9 (Goal: 9,000 Expert Goal: 14,000)
One table for 6, Two tables for 4, three tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 4-10 (Goal: 11,000 Expert Goal: 14,000)
One table for 6, Two tables for 4, three tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are girls, college kids, businesswomen and seniors.
Part 5 - The Indian Restaurant
And just when you thought it was over, there is a bonus level. Flo finds herself magically transformed into a sort of Shiva goddess, floating on a cloud, and is transported to her restaurant Nirvana. She now has four arms, which means she can carry four things at once.
Level 5-1 (Goal: 5,000 Expert Goal: 10,000)
Two tables for 6, three tables for 4, two tables for 2. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, and businesswomen. Your reward for completion is a podium and a drink station.
Level 5-2 (Goal: 7,000 Expert Goal: 13,000)
Two tables for 6, three tables for 4, two tables for 2. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a pappadom snack station.
Level 5-3 (Goal: 9,000 Expert Goal: 14,000)
Two tables for 6, three tables for 4, two tables for 2. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 5-4 (Goal: 10,000 Expert Goal: 16,000)
One table for 6, two tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors. Your reward for completion is a samosa snack station.
Level 5-5 (Goal: 10,000 Expert Goal: 20,000)
One table for 6, two tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 5-6 (Goal: 10,000 Expert Goal: 20,000)
Two tables for 6, two tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors.
Level 5-7 (Goal: 16,000 Expert Goal: 19,000)
Two tables for 6, two tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors. The line fills up fast in waves, so make sure you keep waiting customers happy with the podium.
Level 5-8 (Goal: 20,000 Expert Goal: 30,000)
Two tables for 6, two tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls and businesswomen. Customers basically order and eat instantly after being seated and served, but at least they won't be asking for snacks. High color combos and chains needed to meet the goal.
Level 5-9 (Goal: 20,000 Expert Goal: 30,000)
Two tables for 6, two tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors. There are no color bonuses this level since all chairs are black and stay that way. You need to create large chains to reach the required goal and prevent customers from leaving at all costs. Tricky, since serving snacks breaks chains, so you will need to adjust the customer's timing to your advantage and focus on table service by waves.
Level 5-10 (Goal: 45,000 Expert Goal: 55,000)
Two tables for 6, four tables for 4, four tables for 2, 8-seat bar. Customers come in red, blue, yellow, purple and green; they are Mr. Hot Shot, girls, college kids, businesswomen and seniors. The color bonuses are back. This will be a long shift and people will line up off the screen. Keep seniors and Mr. Hot Shots waiting in line and serve the impatient ones first.
If you can make it through 5-10, congratulations, you've won Diner Dash!

Hints submitted by our users

Customer cannot leave:
If customers are at 1 heart level and your podium heart will not hold them long enough, then move the pointer over the customer and "hold" them until your podium heart is full. The customer will not be able to leave.
Passed the whole game in 2 days :) What you really need to do in the beginning is just seat all the people in the right colored seats (the bonus points really help!) and serve TWO TABLES AT A TIME. This way you get bonus points for the chaining action. When you get the podium in the next levels, SEAT ONLY TWO TABLES AT A TIME, and while the people are ordering go to the podium to make the others that are waiting happier. When you take the orders, wait for the food to appear and serve it - while the people are eating use that time to go to the podium. GIVE CHECKS TO BOTH OF THE TABLES FIRST, then clear the tables (twice as many points for chaining action). When they\'re gone, seat two more tables and keep repeating the cycle. Remember to seat business women first, they're very impatient. Then the college boys, but also make sure to look at their "hearts" while standing in the line.
When you earn the snacks, sometimes the people at the tables will ask for them while eating (when you're at the podium). Sometimes it's better to sacrifice not serving the people, as it would mean losing the people in the line (not standing long enough at the podium to cheer them up). Sometimes you can also find the time to give the people the drinks, such as the business women for a bigger tip (more points!). What I did is always made sure that the business women were the happiest. After them come the normals, as they also give ok tips, then it's the college boys and the old men. The old men are patient, so you can sit them last. When you get the cool people, make sure to serve them fast or they get really angry. This way you get through all of Flo's 3 restaurants, most of the time earning the expert level. And when you get the four hands...  Well seat 4 tables at a time and go to the podium.
1.  Seat 4 tables at once ( try not to seat the old men, they are patient enough to wait until closing time provided you make them happy at the podium)
2.  Take orders
3.  Serve drinks to make them happier
4.  Serve food
5.  Go to podium while they are eating
6.  Take money only (not to clear the tables)
7.  Go to podium
8.  Clear all tables before seating the next 4 tables
9.  Go to podium (at this point, all tables should be cleared and empty, and the customers waiting in line are happy. Also at this time, you can figure out which customers should sit which tables so can build up the seat colors bonus)
10.  Repeat
It also helps if you leave the dishes for the "last" customers right to the end so you can clear say, 10 tables and earn on that chain for a grand boost to your points.
Always serve four tables at the time, always seat the business women and the college boys first, and always stand at the podium while the four tables eat. Get bonus for doing the same thing 2, 3 or 4 times, pick up four orders, serve four meals in a row, give everybody their bill in a row, and clean the tables at last, this will give a lot of bonus, after I started doing that i almost always get expert-scores...And: it is good to seat the same types four and four if it is possible!
Ok people...here's how it works...the secret to the game is to only serve 3 or 4 tables at a time. But there is one more secret that no one ever talks about...the color coding. If you put a blue person in a blue spot, it becomes x2, and if you put another blue person there after, it becomes x3, and so on. THIS IS THE KEY PEOPLE!! It got me all the way to the fifth level...but after leve 5-8, you're basically screwed!!!!..
I HAVE THE ANSWER! Follow this rule and you cannot go wrong....ONLY SEAT 4 AT A TIME...Seat 4, go to the podium, take orders, go to the podium, serve food, go to podium - or give snacks at the higher levels, give checks to all 4, clear 4 tables - repeat. Try to seat business women and college kids fast once you get the hang of the pattern. Just stay with the pattern. I went from repeating a level up to 10 times to getting expert scores using this method.
If you stick with serving four tables at a time, using the podium and matching colors it may take more then one try but all levels can be beat.. I made it to the end in one day after using those hints.. Just remember to time the four tables...the younger people order and eat faster then the older people...serve the older ones last...serve the college guys and business women first...then the young girls... Good luck.
Hi, I have completed diner dash with a score of over 77,000 in the last level. The 2nd to last level is quite tough but the secret is to seat four at a time, business women with business men, girls with impatient boys, then the old men. After each diner has eaten only give them the check, wait untill ALL tables have finished eating, give out the remaining checks, then clear the tables all together. The points from this are huge. Happy dining!
All of the advice above is true. Four tables are good. Just be reminded that the same routine works when Flo gets 4 hands (the last store). During the last 3 levels of the game don't forget to entertain the guests. Level 8 is kinda hard at first because everyone is moving so fast. What I did was drop off all 4 orders and entertain once the orders are in. I bet the game pretty fast and you will too once you get the routine going. It's a really fun game! Good luck everyone!
I'd like to thank everyone for their comments. I finally finished it with an expert score. If I remember correctly level 8 of 1 and then 10 of each of them seems impossible almost but it's not. Never feel tempted to serve more than 4 tables at a time. (Always come back to the podium after you depose the orders and then while they eat. In the level where they eat fast just go to the podium after they order.) It does help if you hold the ones having only one heart while you're at the podium. Always leave the old guys and the hot shots last. Just seat the business women, normal ladies and college kids. If you can get it to take them from the end of the line while they're still happy you have enough time to do the podium twice - once after the orders and once after the food is served. As for the treats. Give them some if it's during ordering but never interrupt podium to go back and give them snacks even if it means losing a table. Hope it helps. Good luck everyone.
Hello DD fans! I finally passed the whole game after many days of addiction! (And I still love it!) Here are the simple rules you follow:
1) As stated by other fans - seat 4 tables at a time and make full use of the podium - esp. when the others are eating!
2) Try and place everyone in their coloured seats. This earns you extra points and compensates for tables you may have previously lost
3) Always seat business women and cool guys in priority, college boys after and then the old men always last
4) When you get to the level with all black seats, seat only 4 at a time, cont. as normal. But DO NOT lose any customers in line as you lose 2000 points! (You can also cheat by grabbing/holding onto those with one heart standing in line until you finishing talking!) When you get to closing time seat AS MANY PEOPLE! As they all suddenly become VERY PATIENT! Once seated serve them at the tables with bread, drinks etc as many times. This bumps up your score massively!
5) The last stage is easy - just concentrate on seating them in their colored seats!
I couldn't have done this without the DD fans\' help and hints - so I really do hope this helps you too!! Happy dashing guys and gals!!
In the levels where you can serve 2 snacks and have 4 arms, it helps to carry one snack of each. This way you can atleast get rid of them while your running around. Don't carry them at the end of the shift when you are picking up dishes in large chains.
The one before last level was really hard to do because there were no seat bonuses, but i did it after about 10 trials lol! The idea on that level is to Chain, i know its hard but it has to be done. Go to the podium as soon as the game starts and wait until you have a huge queue. Then get rid of the business women first by seating them all at the same time 4-6 seats. If you don't have enough of them in your sight, sit the teenagers to make up the chaining seats. Stay at the podium while your seating these customers as that will give the seated customers time to order plus it will keep the newly sighted customers happy. You can then go to each table and pick up the orders - going back to pick up the remainders etc. Then dish out all the meals.
Remember CHAINING is essential in order to pass this level! You'll then have to decide whether the podium customers need you or whether you have time to clean up the tables - just check their happy levels lol! Try to do as many of the same things as you can, picking up orders, dishing out the meals, cleaning the tables etc. You may then want to consider seating the students and the young girls next. Keep doing this until your left with just the older customers as they keep happy the longest, plus leaving them in the queue helps you not get a huge line full of angry customers lol! If any of your seated customers are steaming with anger get them a drink fast, especially the business women as you'll need their tips, plus you can't afford to loose any customers! Don't worry if you haven't got time, as long as they don't walk out, your still in with a chance!
Level 2-10:
Serve the 6 Older Men last. If you get all through the restaurant (except the older men) take the money from the customer but don't clear the tables (except the table for 6 people, of course you have to clear them) the more tables you clear at once, the more bonus (up to 240 Points.) you'll get... Serve the group of 6 Business Woman before the Group of the 6 Girls. (the Girls are more patient). Give the Businesswomen always drinks (if you aren`t in a great hurry they get more 'hearts' and tip better...
Level 5-8:
You'll just have to serve those 6 seats tables and get the seat bonus. After that, just go to the podium. Repeat this and you'll pass this level, although it uses a lot of time to talk with them.
Level 5-8:
I finally made it past level 5-8. I had to seat them 4 at time. THEN WAIT ON THE PEOPLE AS SOON AS YOU SEAT  THEM, BUT DO NOT PUT THE TICKETS ON THE WHEEL UNTIL YOU HAVE FOUR TICKETS IN HAND. Even the business women are fully happy when you click on them as soon as you seat them. When you accumulate four, since she has four arms, then, turn in the order. As the food is coming you can make the people in line happy. No one will ask for bread, but, you can give the most impatient sitter a drink right before the food is up.
Finally, don't clear all four tables at once, especially when you nearing the end of the shift, try to take up the reciepts first, and then clear the dishes. For example, while the new customers are either eating or waiting to eat, use this time to clear the dirty tables one or two at a time. First make it your goal to perfect the strategy that will allow you to serve all 40 tables, then work for point value. The next level, 5-9 is just as challenging! I won't tell why. Can't wait to get to the end and see what happens!
Last levels:
I FINISHED THE GAME: 6-18-05
On level 5-8, I realized that the key to going to the next level was to first perfect getting all of the customers served without losing any tables. Then perfect making the people as happy as possible. The money is in the bread and the business women. Let the old folks wait in line. However, if you do not have at least 15,000 points when you get the old folks, forget about it because even a restaurant filled with old men will only get you about five thousand points no matter how happy you make them. 20,000 is the goal.
On level 5-9, the goal is 20,000, however there is no seating bonus. All chairs are black and remain black.
Once again, leave the old folks for last, give a lot of bread, and don't lose any tables, and make the clientele as happy as possible.
On level 5-10, the goal is 45,000. When you make it here, you will see. I don't want to spoil the fun or surprise. HAPPY DASHING!
Lots of points:
Always get the business people seated as quickly as possible and load them up with drinks and bread. Hold off on seating the old men. Keep going back to the podium. When the "closed" sign appears, just give out checks, only clear the tables necessary for seating the remaining customers. After the last diner is finished, collect all the dishes at once. This chain will add lots of points and makes the difference for finishing a level.
Hearts:
I really liked this game and i got a cheat. When People have one heart in the waiting line go to the podium and click on them, but don't seat them, click and hold and wait until Flo finishes talking. After she does everyone's happines increases and even the people with one heart that you were clicking and holding.
Seating Customer in order:
1. Business Women
2. College Student
3. Young Lady
4. Mr.Hot Shot
5. Kinly Senior