Photobucket

1

Photobucket

2

Photobucket

3

Photobucket

4

Photobucket

5

Selasa, 30 Oktober 2012

AISYAH



Lirik Lagu AISHAH

Aisah kau pergi ke kota tinggalkan aku yang sendirian
Aisah kau berjanji pulang menemuiku yang kesepian
Aku di sini terus menanti
*
Reff:
Aisah telah pergi, pergi meninggalkanku
Mungkin suatu hari nanti kau kan datang untukku
Kapankah kau kembali, kembali tuk diriku lagi
Mungkin setahun lagi atau kau takkan kembali tuk diriku lagi
Aisah masihkah dirimu mencintaiku saat kau jauh
Aisah kau berjanji pulang menemuiku yang kesepian
Aku di sini terus menanti

Repeat reff
Aisah telah pergi, pergi meninggalkanku
Mungkin suatu hari nanti kau kan datang untukku
Aisah kapan kembali, kembali tuk diriku lagi
Mungkin setahun lagi atau kau takkan kembali tuk diriku lagi

Repeat reff
Klik Di Sini untuk mendownload lagu ini

Senin, 01 Oktober 2012

CINTA SUCI ZAHRANA

Bagian Lima

Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada di balik kematian calon suaminya. la ingin lapor polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelpon calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya.

Tapi ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa. la diskusikan kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara.

"Aku yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian Mas Rahmad. Aku yakin!" 

kata Zahrana berapi-api.

Lantas ia menunjukkan data-data yang menguatkan dugaannya itu. Lina menanggapinya dengan kepala
dingin,

"Sudahlah Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa
bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!"

"Data-data tadi. SMS saat aku mencoba gaun pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa. Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku, tidak bisa dianggap sebagai bukti?" seru
Zahrana.

"Aku bukan pakar hukum Rana. Tapi sebaiknya kau fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang
ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas itu selalu disertai Allah." Sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil koran dari tasnya.

"Apalagi polisi sudah mengumumkan bahwa kematian Rahmad murni karena kecelakaan. Coba kaubaca ini
baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan koran Suara Mahardika.

Zahrana mengambil koran dari tangan Lina. Dan membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela nafas
panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina menangkapnya. Lina berusaha menghibur,

"Sudahlah Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu. Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau jadi hamba-Nya
yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua perkara bagi orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat
bersyukur, dan jika dapat musibah bersabar. Semoga musibah ini jadi pahala." 

Lanjut Lina.
 
"Sebaiknya kautenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi." 

Zahrana mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ia
teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan bela sungkawa,
 
"Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang Paling
berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt."
 
Sejak itu, Zahrana nyaris tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia labuhkan segala keluhkesah dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan. Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam keheningan malam ia berdoa,
 
"Ya Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang kepada-Mu hamba kembalikan semua urusan. Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari semua jenis kejahatan yang terjadi di atas muka bumi ini. Ya Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala hal
buruk yang Engkau ketahui."

* * *
 
Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya. Selesai Tahajjud, Zahrana menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan.

Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan ibunya yang duduk di meja makan itu.

"Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu ya Nak."
 
"Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi."
 
"Apakah aku masih berkesampatan melihat kau duduk di pelaminan ya Nak."
 
"Sudahlah Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi."
 
Selesai sahur Zahrana membaca Al-Quran sementara ibunya shalat. Begitu azan Subuh berkumandang mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk shalat Subuh berjamaah mereka juga ingin mendengarkan Kuliah Subuh yang diadakan selama Bulan Suci Ramadhan.

Habis dari masjid Zahrana mengajak ibunya berjalanjalan menghirup udara pagi keliling komplek perumahan.
Mereka berdua masuk rumah ketika matahari sudah terang bersinar di ufuk. Zahrana langsung mandi dan bersiap-siap mengajar.

Jam tujuh kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kantor STM Al Fatah. Waktu sepuluh menit sebelum bel berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran pada sebuah judul berita:

KARENABERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DI RUANG KERJANYA.

"Semarang - Sepandai-pandai orang menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya layak untuk S (55 tahun), Dekan Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya akhirnya terkuak. Ia tewas mengenaskan di ruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas Teknik yang marah karena isterinya bernama M (24
tahun) diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan universitas terkemuka dari Amerika Serikat itu. Dua mahasiswa suami isteri itu, H dan M kini ditahan pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut...."

Zahrana berkata pelan dalam hati, "Becik ketitik olo kethoro!" 
( Peribahasa Jawa, artinya: perbuatan baik akan diketahui, perbuatan buruk juga akan tampak.) Ia lalu bertakbir dalam hati. Ia merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan balasannya sendiri.

Setelah itu ia masuk kelas dengan penuh semangat. Anak-anak didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang 

berkenaan dengan puasa. Puasa dan hubungannya dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis protes,

"Kok tugasnya membaca buku tentang puasa Bu. Memang pelajaran kita ini pelajaran agama. Pelajaran kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?"

Dengan tersenyum Zahrana menjawab,
 
"Justru itulah karena dalam menggambar teknik listrik memerlukan kesabaran yang tinggi. Maka ibu ingin kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita masuk bulan puasa. Ayo kita kaji hubungan puasa dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam. Kita ke perpustakaan selama dua jam pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan."

Anak-anak siswa kelas satu itu sangat gembira. Sebab diajak oleh guru masuk ke perpustakaan yang jarang
mereka dapatkan. Bagi mereka, cara Bu Zahrana mengajar itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Selalu ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa kehilangan fokus utama pelajaran.
 
Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. la ingin membuat kolak untuk buka puasa. Juga membuat mendoan dan bakwan. Ibunya ternyata sudah menyiapkan es degan. Sudah dimasukkan di lemari es sejak siang.

Pulang dari warung ia agak terkejut, sebab ada mobil sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa yang datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang datang ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan.

"Dari mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul.
 
"Dari warung Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk bikin kolak. Sendirian ya Bu?

" Iya".
 
"Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia beres semua?"
 
"Alhamdulillah Hasan baik-baik saja. Dia titip salam. Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa."
 
"Senang ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai.
 
"Menyengaja ke sini em..."

Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela,
 
"Nak, Bu Zul ini datang karena ada keperluan penting denganmu. Katanya ada hal serius yang ingin beliau
konsultasikan denganmu. Sini biar ibu yang bikin kolak, kau bisa bincang-bincang dengan beliau."

Bu Zul langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan saya mengganggu."

"O nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat, 
 
"saya tinggal ke belakang dulu ya Bu. Silakan bicara dengan Zahrana," 

lanjutnya lalu pergi ke arah dapur. Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat.

"Eh..konsultasi apa ya Bu?" Zahrana memecah keheningan.
 
"Eh ini. Tentang Hasan, anak saya."
 
"Ada apa dengan Hasan, Bu?"
 
"Sebelumnya maaf ya Bu, saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu, ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua hari yang lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu bagaimana? Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia Bu."

Zahrana mengerutkan dahi,
 
"Kalau menurut saya pribadi tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa isterinya dibawa, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa isterinya ditinggal di Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang tiket pesawat juga murah."

"Apa menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya isteri? Dan bisa bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak?"

"Pendapat saya ini sangat subjektif dari saya Bu. Menurut saya Hasan sudah sangat layak menikah. Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan tanggung jawab dan kepemimpinannya. Kenapa Ibu masih ragu dengan anak sendiri?"

"Saya tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan. Biar mantap jika saya melepas Hasan ke dunia baru yang penuh perjuangan dan aral melintang."

"Mantap saja Bu. Menikah dini bagi orang seperti Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini dulu."

"Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu tentang calon yang diajukan Hasan."

"Semoga saja saya kenal dengan calon Hasan itu. Dia kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?"

"Tidak Bu. Saya langsung saja ya Bu. Maaf sebelumnya, Hasan meminta kepada saya untuk melamar Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu."

Zahrana kaget bagai disambar Halilintar.
 
"S...saya Bu?!"
 
"Iya. Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!"
 
"Maaf, Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya tidak pernah berlaku yang tidak-tidak sama Hasan Bu, sungguh." 

Jawab Zahrana dengan nada takut dan kuatir.
 
la kuatir jika Bu Zul itu datang untuk membuat perhitungan dengannya. Takut kalau ia dianggap berhubungan dengan Hasan.

"Nggak Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat serius dalam hal ini."
 
"Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu."
 
Bu Zul malah tersenyum,
 
"Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?"

"Ibu harus percaya pada saya Bu. Saya tidak punya hubungan apapun dengan Hasan kecuali dosen dengan muridnya Bu. Sungguh Bu!?"

Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dia langsung paham maksud Zahrana.

"Bu Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu. Saya percaya pada ibu. Juga percaya pada anak saya. Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada anak saya itu. Saya berjanji akan membantunya menyunting gadis manapun yang ingin dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting Bu Zahrana, saya langsung setuju. Sebab saya sudah tahu semuanya tentang ibu dari teman ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap. Dan sangat berharap Bu Zahrana tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan serius tapi belum resmi. Jika Bu Zahrana serius nanti saya akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan dan ayahnya juga beberapa anggota keluarga."

Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang disampaikan Bu Zul itu sangat jelas ia dengar dan sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.
 
"Ibu sudah tahu say a tapi Hasan belum tahu saya Bu."
 
"Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa yang masih membuat Bu Zahrana ragu."
 
"Saya masih belum bisa percaya Bu. Ini hal gila. Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?"
 
"Harus bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak Bu, tidak gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul itu bukan ide gila. Itu ide baik. Dan mahasiswa meminang dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?"

"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi."
 
"Berarti menerima. Tidak bicara berarti diam. Diam tanda menerima."
 
"Saya ini lebih tua dari Hasan Bu. Dia cocoknya jadi adik saya."
 
"Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu memang lebih tua. Tapi tidak terpaut jauh. Cuma empat tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby face. Bagi saya sendiri tidak masalah. Toh suami saya juga lebih
muda dua tahun dari saya."

"Saya belum bisa menerima Bu?"
 
"Kenapa? Kata ibu tadi Hasan sudah pantas menikah dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan suatu cacat yang menurut ibu layak ditolak lamarannya?"

Zahrana diam. la tidak tahu harus bagaimana. la masih belum tahu apa yang terjadi. Hasan melamarnya? Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.

"Diam berarti menerima. Saya pamit Bu, mana ibunda tadi?"

Zahrana tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri.
 
"Ibu benar-benar serius?"
 
"Iya."

"Hasan juga benar-benar serius?"

"Iya."

"Kalian sudah tahu kekuranganku dan maumenerimaku?"

"Iya. Tak ada manusia yang sempurna."

"Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat."

"Apa syaratnya?"

"Akad nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jamaah masjid.
Maharnya seadanya saja."

Kini gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidak menduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu.

"Apa nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri saja."

"Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi nikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya hanya kuatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang
membatalkan rencana itu. Bagi saya lebih baik ya nanti malam, atau tidak sama sekali."
 
Bu Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat. Wajah yang teduh, namun sangat berkarakter.
 
"Baiklah. Dalam hal ini saya tidak memutuskan sendiri. Saya akan bicara sama anak dan keluarga. Saya pamit dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon."
 
Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang sedan dokter itu hingga hilang di tikungan. Ada kebahagiaan menyusup dalam hatinya. Tapi juga ada kecemasan. la memang lagi bahagia. Namun untuk membentengi diri agar tidak kecewa lagi setelah kebahagiaan di depan mata, ia menganggap dialognya dengan Bu Zul tadi hanya main-main. Dialog latihan orang bermain drama atau sandiwara.

* * *
 
Azan Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Zahrana meneguk kolak dan makan mendoan. Ada kenikmatan luar biasa saat buka. Kenikmatan yang susah diungkapkan dengan kata-kata.

Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang bisa merasakannya. Pembicaraan dengan Bu Zul itu tidak Zahrana sampaikan kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya kecewa jika yang diharapkan tak terjadi lagi.

Setelah shalat Maghrib Zahrana mendapat telpon dari Bu Zul,

"Bu Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini ibu langsung dengar sendiri suara
Hasan ya.."

Suara di hand phone Zahrana lalu berubah,

"Bu Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya saya akan siapkan maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat sekarang, dan kami shalat Isya di masjid
dekat rumah Ibu."

"Kau serius Hasan?"

"Iya Bu."

"Kau bisa mencintaiku?"

"Iya Bu."

"Kalau begitu jangan lagi kaupanggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak?"

Zahrana merasa tak perlu malu.

"Saya coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid."

Mata Zahrana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada.

"Te..terima kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah."
 
Sambungan ditutup.

Zahrana menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada Zahrana. Dengan
terisak-isak Zahrana menjelaskan apa yang terjadi. Sang ibu turut menangis. Zahrana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Zahrana memohon kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan dan mimpi.

Dan pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa yang diharapkan Zahrana terjadi. Akad nikah setelah shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak. Sebagian besar adalah tetangga Zahrana.

Mereka turut terharu. Saat akad nikah ibu Zahrana menangis tersedu-sedu. Beberapa ibu-ibu juga menangis.

Malam itu Zahrana sangat bahagia. Hasan juga merasakan hal yang sama. Usai akad nikah Hasan mengajak Zahrana naik mobilnya menuju hotel termewah di tengah Kota Semarang. Di dalam hotel, dengan penuh kekhusyukan Zahrana menunaikan ibadahnya sebagai seorang isteri. Ibadah yang sudah lama ia tunggu-tunggu bersama seorang suami.

Di mata Hasan, Zahrana yang tampak manis dengan jilbab putihnya ternyata jauh lebih manis ketika rambutnya terurai. Hanya dia yang tahu seperti apa manisnya Zahrana. Mereka berdua saling mengagumi,
saling mencintai dan saling menghormati.

Kebahagiaan Zahrana malam itu menghapus semua derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafasnya. Ia semakin yakin, bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan ihsan.

Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan
Allah 'Azza wa Jalla kepadanya.

Subhaanallaah wal hamdulillaah, wa laailaahaillallaahu
wallaahu akbar!


TAMAT

CINTA SUCI ZAHRANA

Bagian Empat

Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo.

Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,

"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."

Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh meminta ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anakanak yang menjadi penyejuk jiwa.

Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,

"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan
memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai
perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semenamena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."

Ia kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapai SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS
kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,

"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata
manusia!"

* * *

Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana nyaris sempurna. Besok acara
pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian main
kejarkejaran.

Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari group
kasidah Nasyida Ria berkumandang,

Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.

Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin
membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana istirahat saja.

Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar fresh dan segar.

Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anakanak kecil tertawa-tertawa bahagia.

Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu
yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria,

Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.

Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi
seperti patung. Linalah yang membangunkannya.

"Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya.

Lina yang ia tanya malah menangis.

"Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!"

"Ada apa dengan Rahmad?"

Lina tidak menjawab malah semakin keras terisakisak. Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab,

"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!"

"Apa!!?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt.

"Rahmad mati tertabrak kereta api!" lanjut Paman Rahmad.

"Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat hati siapa saja yang
mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika. Semua yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana
yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata.

Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain, "Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bisa
tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"

Paman Rahmad menjelaskan,

"Habis shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat pen ting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya. Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru. Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah.

Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah, Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan siapa.

Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberitahu ada mayat tertabrak kereta api,
dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad. Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad."

Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua larut dalam kesedihan yang dalam. Zahrana
masih pingsan.

***

Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.

Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. la masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa
Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus
dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan akad nikah, namun tiba-tiba menciptakan trauma baginya.

Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.

"Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!"

katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.

"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik."

Lina mencoba menguatkan.

"Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"

"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."

"Tak tahu aku harus bagaimana Lin."

"Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan
tenang!"

Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.

"Anakmu bagaimana Lin, kalau kau di sini?" tanya Zahrana.

"Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran."

Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar.

"Bahagianya punya anak. Kau beruntung Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh
kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...."

Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit kamar rumah sakit.

"Sudahlah Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau insya Allah akan
memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."

"Entahlah Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa tidak bergairah hidup lagi."

"Tidak Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana, kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!"

"Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku ini sangat berat!"

"Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu menghadapinya Rana. Aku yakin."

"Aku beruntung punya teman sepertimu Lina. Terima kasih ya Lin...Kau baik sekali!"
Lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang.

"Aku juga sangat beruntung punya teman sepertimu Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran
justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia."

Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa kondisi
Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan denganpenuh perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya
dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan. Senyumnya mengalirkan kesembuhan.

"Jadi, ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa itu?"

Zahrana mengangguk.

"Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?"

"Siapa nama anak Bu Dokter?"

"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa."

"O kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam
buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."

"Ya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak
membantu anak saya."

"Sama-sama, Bu."

Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas.
Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip
dengan Zahrana. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah
dalam usia yang sangat terlambat.

"Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang
dikejarkejar tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Yang paling penting adalah dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan sedih."

Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata,

"Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali."

Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata,

"Ada nasihat sangat bagus sekali dari Anton Chekov."

"Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan.

"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan.
Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ."

"Nasihat yang baik sekali Bu."

"Ya. Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa kaubaca juga karya-karya sastra."

"Terima kasih Bu atas semuanya."

* * *

Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah
kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit. Namun tak tertolong. Nyawanya melayang di
perjalanan.

Hari itu ia meninggal menyusul calon menantunya. Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada
Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh.

Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan
Zahrana.

Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran
terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian.

Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Juga temanteman dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang.

Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana Pak Karman berkata pelan sekali,

"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!"

Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan
keyakinannya bahwa yang menterornya selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman
tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.

Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon suaminya ada hubunganya dengan SMS terakhir Pak
Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror
dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tibatiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh
terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang.

"Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.

( Bersambung Ke Bagian Lima )